- ADAT SUKU SASAK DI PULAU LOMBOK
·
Adat Istiadat
1.
Perkawinan.
Dalam Kitab Adat Sasak Dulang I
Perkawinan yang ditulis oleh Gde Perman disebutkan ada beberapa macam cara
orang Sasak yang akan melakukan perkawinan. Cara-cara tersebut ada yang baik
(solah) dan masih berlaku dan ada yang tidak baik. Cara-cara tersebut anatara
lain :
1.
Cara Teperondong atau disebutkan juga tabulungan atau tasegar yaitu
suatu cara dimana seseorang yang menikah (merari’) laki-laki atau perempuan tersebut
telah dijanjikan sejak kecilnya. Biasanya yang melakukan perkawinan cara ini adalah
mereka yang ada pertalian darah dan secara suka sama suka ;
2.
Cara Kepanjing yaitu seorang anak perempuan yang dianggap cantik diambil
begitu saja oleh para datu (penguasa) dengan cara pemaksaan. Cara ini sudah
ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak cocok dan bertentangan dengan ajaran
agama Islam ;
3.
Cara Kahambil yaitu seorang anak gadis orang dari lapisan Jajar Karang diambil oleh lapis yang
lebih tinggi (datu raden atau menak-perbape) hanya dengan proses musyarawarah,
namun tetap atas persetujuan si perempuan tanpa paksa ;
4.
Cara Merari’ atau Memaling yaitu
seorang anak gadis (dedare) atau seorang janda (bebalu) diambil secara
diam-diam ; tidak diketahui oleh bapak dan ibunya serta sanak saudaranya. Cara
ini masih berlangsung dan banyak dilakukan oleh orang-orang Sasak[1].
5.
Cara Belako’ atau disebut juga Memadik
dan Ngelamar yaitu perkawinan
dengan cara si gadis diminta (lako’)
pada orang tuanya. Adapun ketentuan urutan belako’ sebagai berikut : a. penawer
: Si perjaka datang berkunjung ke si gadis yang sama-sama saling suka ; b. Si
perjaka memberikan tanda pengikat janji ; c. Melatos : yaitu keluarga dari
pihak laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk menetukan waktu pengambilan.[2]
2.
Pendidikan
Tradisi masyarakat sasak pada usia di
(pra sekolah) anak-anak mereka terlebih dahulu diberitahukan pendidikan agama
Islam. Pendidiakn agama ini dimulai dengan belajar mengaji (membaca al-Qur’an)
dan tauladan praktek-praktek ibadah. Pelajaran al-Qur’an biasanya dimulai
dengan belajar alif, ba, ta
(system belajar mengeja ala al-bagdadi dan atau sekarang Iqra’). Kemudian
pindah ke al-Qur’an kecil ( Juz ‘Amma) lalu pindah ke al-Qur’an besar.
Setelah menyelesaikan pendidikan
al-Qur’an dan sejalan dengan pendidikan formalnya di sekolah dasar, anak yang
mampu (secara material) dan berminat memperdalam pelajaran agamanya mencari
ulama (Tuan Guru) yang mempunyai pesantren. Kurikulum pendidikan pesantren
terdiri ilmu alat (nahwu dan sharqf), fiqih, dan tauhid dan ilmu-ilmu agama yang lainnya. Dan bagi
mereka yang tidak masuk pesantren secara aktif mengikuti pengajian-pengajian
umum yang diadakan di masjid-masjid, mushalla (santren), atau langgar-langgar.
Pendidikan non formal (terutama pendidikan agama) pada
masayrakat Sasak telah berjalan lama sejak pertengahan abad ke-19, ketika para
guru mengaji (Tuan Guru) mengadakan pengajian dengan system halaqah ala
masjidil Haram Makkah di tempat tinggal mereka. Para Tuan Guru ini biasanya
mengajarkan al-Qur’an dan al-Hadits, Fiqih, dan Tauhid dan juga Tassawuf.
Dalam perkembangan lebih lanjut,
gerakan pendidikan agama Islam mengalami kemajuan yang pesat pasca kemerdekaan.
Pada tahun 1950-an Tuan Guru Saleh Hambali di Lombok Barat mendirikan Pesantren
dan Madrasah Darul al-Qur’an di Desa Bengkel, Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul
Majid di Lombok Timur mendirikan Pesantren Nadhatul Wathan. Dan sejak itulah
pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah semakin menjamur, dengan memadukan
system pendidikan tradisional (salafiah)
dengan system pendidikan modern.
Pranata pendidikan agama di Lombok
saat ini telah mampu sejajar dengan pendidikan umum mulai dari tingkat
para-sekolah (TK-RA), tingkat dasar (SD-MI), tingkat menengah (SMP-MTS) atau
(SMU-MA), dan bahkan di tingkat Perguruan Tinggi dnegan keluarnya surat keputusan tiga
Menteri serta rakyat diberikan kesempatan untuk mengelola lembaga
pendidikan.
3.
Ekonomi
Sebagian besar masyarakat Sasak bermata
pencaharian hidup dari bertani kemudian nelayan, kerajinan tangan, dan usaha dagang. Dan bahkan karena alasan
ekonomi ini masyarakat Sasak mernatau ke Negeri Jiran sebagai tenaga kerja dan
buruh,
Lahan pertanian pada umumnya adalah
tanah basah (subur) di Lombok Barat dan sebagian besar Lombok Timur, sementara
di Lombok Tengah sebagian besarnya adalah tanah kering. System irigasi dan
pengairannya masih sangat dipengaruhi oleh system pembagian wilayah perairan
(subag) Bali. Masing-masing wilayah pengairan (subag) diatur system
pembagiannya oleh seorang petugas yaitu pekasih. Dalam melaksanakan tugasnya
seorang pekasih diberikan menggarap sebidang tanah yang disebut tanah pecatu [3]
dengan luas antara 3.500 M ² (50 are).
System penggarapan tanah oleh
masyarakat masih lebih banyak menggunakan pestisida. Pada umumnya keluarga
petani masih merupakan petani subsistem. Penggunaan tenaga luar pada proses
pembukaan dna penggarapan serta pada saat memanen. Petani yang tidak mempunyai
sawah atau mempunyai lahan sempit biasanya bertindak sebagai penyakap (pengaro) artinya mereka mengerjakan tanah orang lain dengan cara
bagi hasil atau ada yang sekedar mengambil upah menjaga (pengairan dan
pemeliharaan). Dan sebagian lain dari masyarakat petani ada yang bertani dengan
system sewa dan ataupun beli tanah sementara (jangka waktu yang ditentukan oleh
pihak penjual dan pembeli).
Dalam pembukaan sawah (turun bangket) pada pergantian musim kemarau ke musim hujan pada
sebagian masyarakat (secara khusus sebagian Lombok Barat) masih sangat kental
pengaruh budaya Hindu. Mereka menandai datangnya musim hujan dengan membawa
sesajian (pejawali) dan dirangakai
dengan perang tupat (sasak topat) di Lingsar Narmada Lombok Barat.
Secara umum ciri-ciri perekonomian masyarakat Suku Sasak
yang tinggal di pedesaan seperti :
1.
Pembagian kerja dalam bidang
pertanian dan bidang-bidang produksi lainnya didasarkan pada jenis kelamin dan
usia ;
2.
Kalkulasi dan penentuan harga tidak diimbangi
dengan penggunaan tenaga, waktu, peralatan, dan personil. Perlindungan mereka
lebih manusiawi dari pada merenggut keuntungan ;
3.
Kegiatan perekonomian mereka
terutama yang tinggal di pedesaan bertumpu ekonomi yang bersifat normatif,
yaitu kegiatan yang sejalan dengan nilai-nilai umum masyarakat. Dan mereka
memperlihatkan hubungan erat dan saling ketergantungan fungsional dengan
kegiatan social ekonomi ;
4.
Pola konsumsi pada umumnya
terdiri dari nasi, ikan, dan sayur-mayur. Makan buah dianggap sebagai
pelengkap. Bagi masyarakat petani mereka mendapatkan ikan terkadang dengan
barter dengan pedagang, sementara sayur-mayur dapat mereka penuhi dari hasil
yang ditanam di tanah persawahan ;
5.
Makanan pokok mereka adalah.
4.
Agama dan Kepercayaan.
Tradisi keagamaan yang berkembangan
pada masyarakat Sasak pada umumnya dapat
diklasifikasinya kepada daua azas, yaitu :
Pertama, tradisi kepercayaan
yang bersumber dari tradisi kepercayaan nenek moyang ; Kedua, tradisi kepercayaan yang
bersumber dari idela Islam (Rukun Islam dan Rukun Iman). Kedua azas ini
bercampur baur dalam praktek upacara-upacara serta keagamaan. Percampuran ini
kemudian melahirkan varian praktek Islam yang terikat kuat dengan pola-pola
piker ulama fiqih (hukum Islam) Empat Mazhab dan secara khusus Mazhab Imam
Syafi’i. Varian pertama kemudian disebut Islam Waktu (Wetu) Telu, sedangkan
varian kedua disebut Islam Waktu Lima.
Fenomena keagamaan dari masyarakat
Islam Waktu Telu adalah masih tersisanya pengaruh ajaran agama tradisional
pribumi, sedangkan pada masyarakat Islam Waktu Lima lebih ditekankan pada
termanifestasikannya ideal Islam dalam pengertian normatifnya. Dalam praktek
peribadatan sehari-harinya, Islam Waktu Telu ini mempercayai dan menjalankan
syari’at Islam seperti sembahyang atau puasa, hanya saja pelaksanaannya tersebut
dapat diwakili oleh para kyai dan penghulu, sementara masayrakat lain
terbebaskan.
5.
Pranata Kultural Penyelesaian Sengketa.
Bagi masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok
pranata penyelesaian sengketa (konflik) di bidang pengairan, maka lembaga
penyelesaian sengketa disebut “Rembuq
Subag”. Pranata rembuq subag dipergunakan oleh masyarakat Suku Sasak dalam
rangka menyelesaikan sengketa air (pesiak aik) penggunaan “rembuq subag” tersebut yang bertindak sebagai hakim adalah
“pekasih”. Pekasih sebagai hakim
pengadil di tingkat subak diangkat oleh masyarakat desa (khususnya pengguna
air) dengan masa waktu jabatan yang terbatas lamanya, sehingga tidak musathil
seorang “pekasih” baru diganti
manakala telah meningal dunia. Seorang pekasih bagi masyarakat Suku Sasak
adalah figur seorang yang faham tentang pengairan, tokoh yang jujur, dan adil,
serta dapat mengemong (mengayomi) semua pihak putusan “rembuq subag” disebut “ngemong”
Sedangkan lembaga penyelesaian
sengketa di bidang arisan dan perkawinan bagi mayarakat Suku Sasak adalah “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa atau Kerama Gubuk”.
Anggota Majelis Adat Dese atau Kerama Dese atau Kerame Gubuk diangkat oleh
masyarakat dari unsur tua-tua adat, tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan
formal pemerintahan. Pranata “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa” atau
“Kerama Gubug” juga dipergunakan sebagai lembaga yang menyelesaikan atau mengadili
sengketa di bidang kepidanaan, misalnya perkelahian misal (mesiat), terjadinya
pelanggaran adat yang meresahkan masyarakat (Ngeletuhing Jagar) atau Ngaweng
pati (memanggil maut).
DAFTAR
PUSTAKA
Bin Dachlan, Ali. 2005. Buku Pintar Suku Bangsa Sasak. Selong :
Yayasan Pemban Selaparang.
Maksum. 1999. Madrasah : Sejarah &
Perkembangannya. Jakarta : Logos Wacana Ilmu
Handayani, Usri Indah. 2004. Peninggalan Sejarah dan kepurbakalaan NTB.
Mataram : Museum Negeri Prov. NTB
[1]. Kata merari’ diambil dari kata “lari” , berlari. Merari’ berate
mela’iang artinya melarikan. Seseorang yang akan merari’ dalam adat Sasak seyogyanya menaati aturan dan tata karma.
(awiq-awiq). Awiq-awiq itu antara lain : a. Perempuan di rumahnya (ruamh
ibu-bapaknya) tidak boleh diambil di sekolah, tempat orang pesta atau
persantaian. b. Kedua pihak yang akan merari’ memang saling suka dan cinta. c.
harus diambil di malam hari dan tidak boleh lewat dari jam 23.00 (11.00 malam).
d. Perempuan yang diambil harus
didampingi oleh wanita lain (tidak boleh sendriran) dan tidak boleh dibawa
langsung ke rumah pengantin laki-laki (pesebok). e. Kedua pengantin yang
merari’ tidak boleh saling berdekatan sebelum dilaksanakan akad nikah. f. Segera mungkin (maksimal 3 hari untuk yang
dekat dan 7 hari bagi yang jauh) harus
sudah diberitahukan (selabarkan)
ke pihak perempuan (Gde. Parman, Kitab Adat, hal 16-17)
[2] Ibid Hal 10-11
[3] Tanah pecatu adalah tanah adat yang diberikan kepada seseorang
karena mereka baik dalam bidang agama (penghulu), kebudayaan dan peran sosisal
seperti keliang (kepala dusun) atau pekasih. Kepemilikan terhadap tanah pecatu
ini bersifat sementara sebab bila bila tokoh tersebut mengundurkan diri dari
tugas-tugasnya, maka menggarap tanah pecatu tersebut berpindah ke tangan
petugas baru yang menggantikannya.
No comments:
Post a Comment