Selamat Datang Di Blog Ateja Yudhi Septian, Disini Adalah Tempat Sharing Software gratis, dan juga software android, yang ingin merequest sebuah program bisa lansung kesini, beri komentar, selain tempat share software blog ini juga sebagai sarana untuk belajar teknologi, yang masih bingung dengan android bisa ditanyakan dan yang masih bingung dengan laptop bisa juga ditanyakan

Friday 2 October 2015

Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok




  1. ADAT SUKU SASAK DI PULAU LOMBOK   
·      Adat Istiadat

1.      Perkawinan.
Dalam Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan yang ditulis oleh Gde Perman disebutkan ada beberapa macam cara orang Sasak yang akan melakukan perkawinan. Cara-cara tersebut ada yang baik (solah) dan masih berlaku dan ada yang tidak baik. Cara-cara tersebut anatara lain :
1.    Cara Teperondong atau disebutkan juga tabulungan atau tasegar yaitu suatu cara dimana seseorang yang menikah (merari’) laki-laki atau perempuan tersebut telah dijanjikan sejak kecilnya. Biasanya yang melakukan perkawinan cara ini adalah mereka yang ada pertalian darah dan secara suka sama suka ;
2.    Cara Kepanjing yaitu seorang anak perempuan yang dianggap cantik diambil begitu saja oleh para datu (penguasa) dengan cara pemaksaan. Cara ini sudah ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak cocok dan bertentangan dengan ajaran agama Islam ;
3.    Cara Kahambil yaitu seorang anak gadis orang dari lapisan Jajar Karang diambil oleh lapis yang lebih tinggi (datu raden atau menak-perbape) hanya dengan proses musyarawarah, namun tetap atas persetujuan si perempuan tanpa paksa ;
4.    Cara Merari’ atau Memaling yaitu seorang anak gadis (dedare) atau seorang janda (bebalu) diambil secara diam-diam ; tidak diketahui oleh bapak dan ibunya serta sanak saudaranya. Cara ini masih berlangsung dan banyak dilakukan oleh orang-orang Sasak[1].
5.    Cara Belako’ atau disebut juga Memadik dan Ngelamar yaitu perkawinan dengan cara si gadis diminta (lako’) pada orang tuanya. Adapun ketentuan urutan belako’ sebagai berikut : a. penawer : Si perjaka datang berkunjung ke si gadis yang sama-sama saling suka ; b. Si perjaka memberikan tanda pengikat janji ; c. Melatos : yaitu keluarga dari pihak laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk menetukan waktu pengambilan.[2]
             
2.      Pendidikan
Tradisi masyarakat sasak pada usia di (pra sekolah) anak-anak mereka terlebih dahulu diberitahukan pendidikan agama Islam. Pendidiakn agama ini dimulai dengan belajar mengaji (membaca al-Qur’an) dan tauladan praktek-praktek ibadah. Pelajaran al-Qur’an biasanya dimulai dengan belajar alif, ba, ta (system belajar mengeja ala al-bagdadi dan atau sekarang Iqra’). Kemudian pindah ke al-Qur’an kecil ( Juz ‘Amma) lalu pindah ke al-Qur’an besar.
Setelah menyelesaikan pendidikan al-Qur’an dan sejalan dengan pendidikan formalnya di sekolah dasar, anak yang mampu (secara material) dan berminat memperdalam pelajaran agamanya mencari ulama (Tuan Guru) yang mempunyai pesantren. Kurikulum pendidikan pesantren terdiri ilmu alat (nahwu dan sharqf), fiqih, dan tauhid  dan ilmu-ilmu agama yang lainnya. Dan bagi mereka yang tidak masuk pesantren secara aktif mengikuti pengajian-pengajian umum yang diadakan di masjid-masjid, mushalla (santren), atau langgar-langgar.
Pendidikan non formal (terutama pendidikan agama) pada masayrakat Sasak telah berjalan lama sejak pertengahan abad ke-19, ketika para guru mengaji (Tuan Guru) mengadakan pengajian dengan system halaqah ala masjidil Haram Makkah di tempat tinggal mereka. Para Tuan Guru ini biasanya mengajarkan al-Qur’an dan al-Hadits, Fiqih, dan Tauhid dan juga Tassawuf.
Dalam perkembangan lebih lanjut, gerakan pendidikan agama Islam mengalami kemajuan yang pesat pasca kemerdekaan. Pada tahun 1950-an Tuan Guru Saleh Hambali di Lombok Barat mendirikan Pesantren dan Madrasah Darul al-Qur’an di Desa Bengkel, Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Majid di Lombok Timur mendirikan Pesantren Nadhatul Wathan. Dan sejak itulah pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah semakin menjamur, dengan memadukan system pendidikan tradisional (salafiah) dengan system pendidikan modern.
Pranata pendidikan agama di Lombok saat ini telah mampu sejajar dengan pendidikan umum mulai dari tingkat para-sekolah (TK-RA), tingkat dasar (SD-MI), tingkat menengah (SMP-MTS) atau (SMU-MA), dan bahkan di tingkat Perguruan Tinggi dnegan keluarnya surat keputusan tiga Menteri serta rakyat diberikan kesempatan untuk mengelola lembaga pendidikan.           
 
3.      Ekonomi
Sebagian besar masyarakat Sasak bermata pencaharian hidup dari bertani kemudian nelayan, kerajinan tangan, dan  usaha dagang. Dan bahkan karena alasan ekonomi ini masyarakat Sasak mernatau ke Negeri Jiran sebagai tenaga kerja dan buruh,
Lahan pertanian pada umumnya adalah tanah basah (subur) di Lombok Barat dan sebagian besar Lombok Timur, sementara di Lombok Tengah sebagian besarnya adalah tanah kering. System irigasi dan pengairannya masih sangat dipengaruhi oleh system pembagian wilayah perairan (subag) Bali. Masing-masing wilayah pengairan (subag) diatur system pembagiannya oleh seorang petugas yaitu pekasih. Dalam melaksanakan tugasnya seorang pekasih diberikan menggarap sebidang tanah yang disebut tanah pecatu [3] dengan luas antara 3.500 M ² (50 are).
System penggarapan tanah oleh masyarakat masih lebih banyak menggunakan pestisida. Pada umumnya keluarga petani masih merupakan petani subsistem. Penggunaan tenaga luar pada proses pembukaan dna penggarapan serta pada saat memanen. Petani yang tidak mempunyai sawah atau mempunyai lahan sempit biasanya bertindak sebagai penyakap (pengaro) artinya mereka mengerjakan tanah orang lain dengan cara bagi hasil atau ada yang sekedar mengambil upah menjaga (pengairan dan pemeliharaan). Dan sebagian lain dari masyarakat petani ada yang bertani dengan system sewa dan ataupun beli tanah sementara (jangka waktu yang ditentukan oleh pihak penjual dan pembeli).
Dalam pembukaan sawah (turun bangket) pada pergantian musim kemarau ke musim hujan pada sebagian masyarakat (secara khusus sebagian Lombok Barat) masih sangat kental pengaruh budaya Hindu. Mereka menandai datangnya musim hujan dengan membawa sesajian (pejawali) dan  dirangakai dengan perang tupat (sasak topat) di Lingsar Narmada Lombok Barat.

Secara umum ciri-ciri perekonomian masyarakat Suku Sasak yang tinggal di pedesaan seperti :
1.      Pembagian kerja dalam bidang pertanian dan bidang-bidang produksi lainnya didasarkan pada jenis kelamin dan usia ;
2.       Kalkulasi dan penentuan harga tidak diimbangi dengan penggunaan tenaga, waktu, peralatan, dan personil. Perlindungan mereka lebih manusiawi dari pada merenggut keuntungan ;
3.      Kegiatan perekonomian mereka terutama yang tinggal di pedesaan bertumpu ekonomi yang bersifat normatif, yaitu kegiatan yang sejalan dengan nilai-nilai umum masyarakat. Dan mereka memperlihatkan hubungan erat dan saling ketergantungan fungsional dengan kegiatan social ekonomi ;
4.      Pola konsumsi pada umumnya terdiri dari nasi, ikan, dan sayur-mayur. Makan buah dianggap sebagai pelengkap. Bagi masyarakat petani mereka mendapatkan ikan terkadang dengan barter dengan pedagang, sementara sayur-mayur dapat mereka penuhi dari hasil yang ditanam di tanah persawahan ;
5.      Makanan pokok mereka adalah.
   
4.      Agama dan Kepercayaan.
Tradisi keagamaan yang berkembangan pada masyarakat Sasak  pada umumnya dapat diklasifikasinya kepada daua azas, yaitu : Pertama, tradisi kepercayaan yang bersumber dari tradisi kepercayaan nenek moyang ;  Kedua, tradisi kepercayaan yang bersumber dari idela Islam (Rukun Islam dan Rukun Iman). Kedua azas ini bercampur baur dalam praktek upacara-upacara serta keagamaan. Percampuran ini kemudian melahirkan varian praktek Islam yang terikat kuat dengan pola-pola piker ulama fiqih (hukum Islam) Empat Mazhab dan secara khusus Mazhab Imam Syafi’i. Varian pertama kemudian disebut Islam Waktu (Wetu) Telu, sedangkan varian kedua disebut Islam Waktu Lima.
Fenomena keagamaan dari masyarakat Islam Waktu Telu adalah masih tersisanya pengaruh ajaran agama tradisional pribumi, sedangkan pada masyarakat Islam Waktu Lima lebih ditekankan pada termanifestasikannya ideal Islam dalam pengertian normatifnya. Dalam praktek peribadatan sehari-harinya, Islam Waktu Telu ini mempercayai dan menjalankan syari’at Islam seperti sembahyang atau puasa, hanya saja pelaksanaannya tersebut dapat diwakili oleh para kyai dan penghulu, sementara masayrakat lain terbebaskan.
5.             Pranata Kultural Penyelesaian Sengketa.
Bagi masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok pranata penyelesaian sengketa (konflik) di bidang pengairan, maka lembaga penyelesaian sengketa disebut “Rembuq Subag”. Pranata rembuq subag dipergunakan oleh masyarakat Suku Sasak dalam rangka menyelesaikan sengketa air (pesiak aik) penggunaan “rembuq subag”  tersebut yang bertindak sebagai hakim adalah “pekasih”. Pekasih sebagai hakim pengadil di tingkat subak diangkat oleh masyarakat desa (khususnya pengguna air) dengan masa waktu jabatan yang terbatas lamanya, sehingga tidak musathil seorang “pekasih” baru diganti manakala telah meningal dunia. Seorang pekasih bagi masyarakat Suku Sasak adalah figur seorang yang faham tentang pengairan, tokoh yang jujur, dan adil, serta dapat mengemong (mengayomi) semua pihak putusan “rembuq subag” disebut “ngemong
Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di bidang arisan dan perkawinan bagi mayarakat Suku Sasak adalah “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa atau Kerama Gubuk”. Anggota Majelis Adat Dese atau Kerama Dese atau Kerame Gubuk diangkat oleh masyarakat dari unsur tua-tua adat, tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan formal pemerintahan. Pranata “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa” atau “Kerama Gubug” juga dipergunakan sebagai lembaga yang menyelesaikan atau mengadili sengketa di bidang kepidanaan, misalnya perkelahian misal (mesiat), terjadinya pelanggaran adat yang meresahkan masyarakat (Ngeletuhing Jagar) atau Ngaweng pati (memanggil maut).


DAFTAR PUSTAKA
Bin Dachlan, Ali. 2005. Buku Pintar Suku Bangsa Sasak. Selong : Yayasan Pemban Selaparang.
Maksum. 1999. Madrasah : Sejarah & Perkembangannya. Jakarta : Logos Wacana Ilmu
Handayani, Usri Indah. 2004. Peninggalan Sejarah dan kepurbakalaan NTB. Mataram : Museum Negeri Prov. NTB


[1]. Kata merari’ diambil dari kata “lari” , berlari. Merari’ berate mela’iang artinya melarikan. Seseorang yang akan merari’ dalam adat Sasak  seyogyanya menaati aturan dan tata karma. (awiq-awiq). Awiq-awiq itu antara lain : a. Perempuan di rumahnya (ruamh ibu-bapaknya) tidak boleh diambil di sekolah, tempat orang pesta atau persantaian. b. Kedua pihak yang akan merari’ memang saling suka dan cinta. c. harus diambil di malam hari dan tidak boleh lewat dari jam 23.00 (11.00 malam). d.  Perempuan yang diambil harus didampingi oleh wanita lain (tidak boleh sendriran) dan tidak boleh dibawa langsung ke rumah pengantin laki-laki (pesebok). e. Kedua pengantin yang merari’ tidak boleh saling berdekatan sebelum dilaksanakan akad nikah. f.  Segera mungkin (maksimal 3 hari untuk yang dekat dan 7 hari bagi yang jauh) harus  sudah diberitahukan (selabarkan) ke pihak perempuan (Gde. Parman, Kitab Adat, hal 16-17)       
[2] Ibid Hal 10-11
[3] Tanah pecatu adalah tanah adat yang diberikan kepada seseorang karena mereka baik dalam bidang agama (penghulu), kebudayaan dan peran sosisal seperti keliang (kepala dusun) atau pekasih. Kepemilikan terhadap tanah pecatu ini bersifat sementara sebab bila bila tokoh tersebut mengundurkan diri dari tugas-tugasnya, maka menggarap tanah pecatu tersebut berpindah ke tangan petugas baru yang menggantikannya. 

No comments:

Post a Comment