Selamat Datang Di Blog Ateja Yudhi Septian, Disini Adalah Tempat Sharing Software gratis, dan juga software android, yang ingin merequest sebuah program bisa lansung kesini, beri komentar, selain tempat share software blog ini juga sebagai sarana untuk belajar teknologi, yang masih bingung dengan android bisa ditanyakan dan yang masih bingung dengan laptop bisa juga ditanyakan

Friday 2 October 2015

PENERAPAN TEORI FILOLOGI PADA KARYA SASTRA LAMA NUSANTARA



1.      Penerapan Teori Filologi Pada Karya Saastra Masa Lampau
Pada pertengahan abad ke-19 kegiatan filologi mulai muncul oleh para sarjana-sarjana Eropa, terutama Belanda. Pendekatan yang dilakukan untuk penerapan filologi ini adalah metode intuitif, yaitu memakai metode landasan dengan mengambil satu naskah yang dianggap baik sebagai dasar terbitan, kemudian diubah menurut intuisi penyunting atau disesuaikan dengan naskah lain.  

2.      Contoh-contoh permulaan tradisi  filologi di Indonesia.
a.       Brata-joeda (Cohen Stuart) 1860
Dalam penerapan filologi ini Cohen Stuart menggunakan beberapa sumber, yaitu:
I.                   Tembang Macapat, dengan satu teks tercetak dan dua naskah.
II.                Kakawin dengan dua naskah
III.             Bahasa Kawi
-          Sebuah naskah lengkap, tapi rusak
-          Beberapa lembaran lepas yang memuat sebagian dari Barata-Yuda Kawi.
-          Lembaran lepas yang memut pupuh II-IV
-          Salinan dari naskah Gericke.
-          Petikan –petikan Barata-Yuda Kawi dalam history of Jawa (Raffles).
-          Naskah dari Bupati Gresik
-          Salinan dari naskah Madura
-          Naskah miliknya sendiri.
IV.             Sumber tambahan:
-          Terjemahan lengkap dari Brata-Joeda Macapat dalam bahasa belanda.
-          Beberapa  catatan dalam naskah ubtuk melengkapi terjemahan itu.
-          Petikan dari Brata-yuda Kawi
-          Ringkasan Brata-Joeda dalam prosa Jawa.
 
Cohen Stuart menggunakan 17 sumber yang yang masing-masing di uraikan asalnya, dan cirri-ciri mengenai isinya.
b.      Ramayana Kakawin (Kern) 1900
Untuk penerbitan teks ini, dipakai lima naskah yang berasal dari Bali, dan dua naskah dari Jawa. Teks-teks naskah Bali tersebut saling menunjukkan perbedaan bacaan yang kecil sekali, sehingga kelimanya dianggap sebagai satu naskah, demikian pula dengan naskah Jawa tersebut. Dari penelitian terbukti bahwa meskipun teks Kakawinnya sama, naskah Blai dan Jawa memiliki perbedaan dalam ejaan dan pemilihan kata.

c.       Nagarakrtagama (Brandes) 1902
Brandes menerbitkan Nagarakrtagama dengan huruf Bali (seperti teks aslinya)dengan tujuan memperkenalkan naskah yang ditemukannya di Lombok (1894). Dalam penerbitan ini tidak digunakan metode penentuan teks dasar suntingan, suntingan Brandes ini merupakan salinan setia dari naskah. Oleh karena itu, sama sekali tidak diusahakan untuk membetulkan kesalahan-kesalahan penyalin, meskipun kesalahan itu terlihat secara jelas.

d.      Brahmanda-Purana (Ganda) 1932
Penerbitan teks ini merupakan penerapan pertama metodologi filologi yang sampai kepada stema. Dalam penentuan teks, dipakai 10 naskah dari Universiteits-Bibliotheek Leiden. Atas dasar ejaan, ditunjukkan hubungan antara naskah tersebut, dan kemudian diperbandingkan dengan tujuan dapat disederhanakan. Dalam menentukan hubungan naskah, ada 3 hal yang diperhatikan, yaitu bagian yang hilang, varian, dan bagian yang cacat.

Penelitian di atas serta pengamatan terhadap unsure-unsur kritik teks lainnya menghasilkan suatu stema dengan arketipnya, sehingga dapat diterbitkan dengan menggunakan metode filologi yang sesuai dengan keadaan dan hasil perbandingan teks itu.

3.      Penerapan metode filologi pada beberapa suntingan naskah.
a.       Het Bhomakawya (Teeuw, 1946)
Het Bhomakawya diterbitkan oleh Friderich pada tahun 1852, dan kemudian diterbitkan lagi oleh Teew, dalam suntingan teksnya ia menggunakan metode landasan. Perbandingan kolasi dilakukan terhadap dua naskah lengkap (naskah A dan B) dari Universiteirs-Bibliotheek Leiden. Naskah A ditulis di Lombok pada tahun Saka 1721, dan naskah B berasal dari tahun Saka 1756. Dua naskah tersebut sering menyimpang dari teks cetakan. Terkadang A menurut teks cetakan, sedang B menyinpang dan sebaliknya. Ketergantungan kedua teks ini kepada teks lain tidak dapat ditunjukkan, namun teks ini menunjukkan kedekatan. Akan tetapi dari penyuntingan kedua teks ini menyatakan bahwa teks B lebih dekat dengan aslinya.

b.      Adat Atjeh (Drewes dan Voorhoeve, 1958)
Pada suntingan naskah Adat Atjeh dipakai metode diplomatic yang dibuat Faksimile dalam naskah india Office of Library dengan pengantar dan catatan mengenai asal mula naskah tersebut, deskripsinya, dan metode reproduksi, antara lain, ukurannya diperkecil, dan dua halaman yang berhadapan pada teks asli di reproduksikan pada satu halaman. Untuk memperjelasnya, terbitan ini diberikan transliterasi dengan huruf latin dalam catatan.

c.       Java in the 14th Century (Pigeud, 1960)
Java in the 14th Century ini menggunakan metode diplomatic, disunting Nagara-Krtagama disertai transliterasi, catatan-catatan mengenai teks dan terjemahan, komentar dan glosari (daftar kata-kata).

d.      Asrar Al-Insan fi Ma’rifa Al-Ruh wal-Rahman (Tudjimah, 1960)
Tudjimah menggunakan metode landasan, dan ia juga menggunakan tiga naskah  yang disebut A,B,C. naskah A dan B menunjukkan persamaan yang mencolok, sehingga timbul dugaan bahwa A dan B berasal dari suatu sumber atau naskah A disalin dari naskah b, atau sebaliknya. Sedangkan naskah C hanya memuat kalimat-kalimat dalam bahasa arab. Sehingga naskah A dapat disunting dengan memperbandingkan dengan naskah B dan C.

e.       Hikayat Banjar (Ras, 1968)
Jumlah naskah yang dipakai adalah 8 buah koleksi berasal dari Indonesia dan 12 buah berasal dari Eropa yang sebagian besar dari koleksi Leiden, semua naskah ini adalah naaskah salinan dari naskah yang tersimpan sdi suatu tempat di Indonesia.

 Naskah Hikayat Banjar dibuat dalam dua bentuk dengan perbedaan yang besar yang disebut Resensi I dan Resensi II. Teks yang disunting dalam Hikayat Banjar mewakili Resensi I yang terdiri dari 9 naskah  dengan mengungkapkan persamaan bacaan varian-varian tertentu secara teratur.  Atas dasar cirri-cirinya, naskah dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 4 naskah, dan kelompok II terdiri dari 5 naskah. Pengelompokan dalam sub kelomppok dari sudut pandang berbeda menghasilkan dua macam stema.

f.       Hikayat Andaken Penurat (Robson, 1969)
Penerapan ini menggunakan 1 naskah dalam tulisan arab melayu yang diperkirakan berasal dari Sekretaris Jendral di Batavia, dengan dibuat transliterasi dan terjemahan. Penerapan ini menggunakan nomor halaman pada tepi teks dan terjemahan untuk memudahkan rujukan. Suntingan ini juga merupakan bantuan kecil kearah proses penafsiran.

g.      Wangbang Wideya (Robson, 1971)
Naskah yang digunakan pada edisi ini adalah naskah A,B,C,D,F, dan G. penulisan dalam naskah G dilakukan dengan sangat ceroboh, sehingga penyalin tampak seperti tidak mengerti urutan-urutan lembaran yang harus dibaca, hal ini menyebabkan kekacauan teks. Naskah ini tidak digunakan untuk suntingan, karena hanya sebuah fragmen dan tidak berkolofon.

Perbandingan naskah menghasilkan diagram yang tidak dibenarkan sebagai stema karena tidak menunjukkan keturunan naskah dari naskah aslinya, tetapi hanya menimbulkan pengelompokan umum dan perbandingan yang dapat dipercaya. Contoh diagram:
X







 


                                                      E                C      D      F         
                                          A                                                  B

X bukan arketip atau hiparketip, melainkan teks yang sama.
h.      Babad Buleleng (Worsley, 1972)
Pada penerapan ini digunakan 4 naskah yang disebut A,B,C, dan D, masing-masing dideskripsikan. Edisi ini didasarkan atas foto-foto dari A yang dibuat editor pada tahun 1971. Karena foto-fotonya tidak terbaca, sehingga menggunakan rujukan naskah lain. D adalah naskah yang berbahasa Latin, yang mana naskah menyimpang dari ketiga naskah lainnya. Pemenggalan kata dalam naskah ini tidak dapat dipercaya, meskipun pungtuasinya menunjukkan persamaan dengan pungtuasi dalam A,B, dan C. dengan ini D tidak dapat dipercaya sebagai saksi karena naskah D tidak leengkap.

i.        Undang-Undang Melaka (Liaw Yock Fang, 1976)
Penerapan ini kurang lebih menggunakan 44 naskah. Berdasarkan isinya, naskah dapat dibagi menjadi 7 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 18 naskah, dari 18 naskah itu di sisihkan teks fragmentaris dan teks-teks yang hanya merupakan salinan yang lain, sehingga menjadi 313 naskah yang lengkap. Hubungan antara 13 naskah tersebut didasarkan atas cirri-ciri khusus naskah, antara lain bagian-bagian yang hilang, tambahan-tambahan, bacaan korup dan varian-varian yang penting.
Dari 13 naskah, diambil 5 buah naskah yang paling baik dan yang mempunyai arti bacaan yang paling cocok dengan konteks naskah, sedangkan naskah yang lain digunakan sebagai rujukan sehingga menghasilkan 2 stema, A dan B.

j.        Arjunawijaya (Supomo, 1977)
Penerapan ini menggunakan 20 naskah yang berasal dari Jawa, Bali dan Lombok. Setelah itu dipilih 10 naskah lagi untuk keperluan aparat kritik. Seleksi ini berdasarkan otentitas naskah, kelengkapan naskah, kondisi ejaan dan bacaannya. Perwakilan kedua naskah yang berasal dari Jawa dan Bali menghasilkan sebuah stema.

k.      Hikayat Sri Rama (Achadiati Ikram, 1978)
Achadaiati menyajikan edisi berdasarkan naskah Laud 291. Naskah itu dipilihnya karena umurnya paling tua diantara 24 naskah yang umurnya kira-kira meliputi dua setengah abad. Berdasarkan isi dan susunan cerita Achadiati menggabungkan 17 naska sri Rama dalam beberapa kelompok yang disebut versi. Pengalaman ini tidak dimaksudkan untuk menyusun suatu stema karenadipandang tidak cukup untuk berpijak. (h. 83)

l.        Adat Raja-Raja Melayu (Panuti Sudjiman, 1979)
Penerapan ini menggunakan 10 naskah yang berasal dari berbagai macam Negara, yaitu naskah dari London, Leiden, Jakarta, Paris dan Singapura. Naskah ini dilihat yang sama berdasarkan isi maupun penyajian. Hal ini jelas menunjukkan sesuatu yang sama dan membentuk Stema.
m.    Hikayat Indra Putra (Rujiyati Mulyadi, 1979)
Hikayat Indra Putra menggunakan 30 naskah, semuanya berbahasa arab kecuali satu naskah yang berbahasa Latin. Diantara naskah itu, naskah B berasal dari abad 17 yang paling dekat dengan naskah I. dan naskah F yang berasal dari abad ke 17. Naskah F yang berasal dari abad ke 176 adalah naskah tertua, tetapi tidak dapat digunakan sebagai naskah dasar karena urutan-urutan peristiwanya kacau, terlalu banyak halaman yang hilang dan terlalu rusak untuk digunakan sebagai naskah dasar. oleh karena itu pilihan dijatuhkan kepada naskah yang paling tua dan baik, yaitu MSI dari A.H. IIII (A.D.1700) naskah ini mempunyai urutan lengkap yang ditemukan dalam Hikayat Indra Putra. 

n.      Arjunawiwaha (Kuntara Wiryamartana, 1990)
Penelitian ini menggunakan bahasa Jawa yang melliputi transformasi lewat sastra Jawa. Kakawinan dari masa ke masa terus menerus disalin, dibaca dan ditafsirkan dilingkungan Keraton, Adipaten, pertapaan. Tapi dikalangan Jawa, penerapan ini terbentuklah tembang Macapat. Kuntara memilih bentuk dasar untuk memahami perjalanan tradisi Arjunawiwaha dijawa teks Kakawin Arjunawiwaha dari naskah lontar MP (Malayo Polynesia) 165. Naskah ini dipandang sebagai mata rantai yang sangat penting dalam rangka perjalanan tradisi di Jawa. Penerbitan ini dilakukan dengan 2 cara: pertama dengan terbitan diplomatic yang kedua dengan terbitan teks dengan perbaikan bacaan.

o.      Hikayat Meukuta Alam (Imron T.Abdullah, 1991)
Imron membedakan hikayat Meuka Alam menjadi dua, yaitu lisan dan tulisan. Karena dia menganggap bahwa karya sastra hikayat lahir berupa lisan terdahulu kemudian berupa tulisan. Sehingga pengelompokan ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan cerita sebagai akibat dari penikmat, bukan sebagai stema naskah Hikayat Meuka alam. (hl. 89-90)
p.      Hikayat Iskandar Zulkarnaen (Siti Chamamah Soeratno, 1991)
Hikayat ini pertama diciptakan pada abad ke 15 M. objek penelitiannya adalah naskah hikayat Iskandar Zulkarnaen yang ada diperpustakaan Universitas Malaya. Teks ini adalah satu-satunya teks yang paling utuh secara semantiknya. Mulai dari Nabi Adam hingga peristiwa setelah wafatnya Iskandar Zulkarnaen. Teks ini disajikan kembali dalam bentuk suntingan yang luasnya 4 kali suntingan sebelumnya oleh P.J Van Leeuween (19937) dan Khafid Husain (1968).

Hikayat Iskandar Zulkarnaen di analisis dari segi struktur dan fungsinya, melalui analisis terhadap tokoh-tokohnya seperrti Khidlir, Zulkarnaen. Hikayat ini mempunyai fungsi bagi masyarakat melayu, yaitu untuk menjunjung tunggi Iskandar Zulkarnaen sebagai raja Islam idaman, raja yang berjiwa Islam. (h. 168-9).

No comments:

Post a Comment