1. Penerapan
Teori Filologi Pada Karya Saastra Masa Lampau
Pada pertengahan abad
ke-19 kegiatan filologi mulai muncul oleh para sarjana-sarjana Eropa, terutama
Belanda. Pendekatan yang dilakukan untuk penerapan filologi ini adalah metode
intuitif, yaitu memakai metode landasan dengan mengambil satu naskah yang
dianggap baik sebagai dasar terbitan, kemudian diubah menurut intuisi
penyunting atau disesuaikan dengan naskah lain.
2. Contoh-contoh
permulaan tradisi filologi di Indonesia.
a. Brata-joeda
(Cohen Stuart) 1860
Dalam
penerapan filologi ini Cohen Stuart menggunakan beberapa sumber, yaitu:
I.
Tembang Macapat, dengan
satu teks tercetak dan dua naskah.
II.
Kakawin dengan dua naskah
III.
Bahasa Kawi
-
Sebuah naskah lengkap,
tapi rusak
-
Beberapa lembaran lepas
yang memuat sebagian dari Barata-Yuda Kawi.
-
Lembaran lepas yang
memut pupuh II-IV
-
Salinan dari naskah
Gericke.
-
Petikan –petikan
Barata-Yuda Kawi dalam history of Jawa (Raffles).
-
Naskah dari Bupati
Gresik
-
Salinan dari naskah
Madura
-
Naskah miliknya
sendiri.
IV.
Sumber tambahan:
-
Terjemahan lengkap dari
Brata-Joeda Macapat dalam bahasa belanda.
-
Beberapa catatan dalam naskah ubtuk melengkapi
terjemahan itu.
-
Petikan dari Brata-yuda
Kawi
-
Ringkasan Brata-Joeda
dalam prosa Jawa.
Cohen
Stuart menggunakan 17 sumber yang yang masing-masing di uraikan asalnya, dan
cirri-ciri mengenai isinya.
b. Ramayana
Kakawin (Kern) 1900
Untuk
penerbitan teks ini, dipakai lima naskah yang berasal dari Bali, dan dua naskah
dari Jawa. Teks-teks naskah Bali tersebut saling menunjukkan perbedaan bacaan
yang kecil sekali, sehingga kelimanya dianggap sebagai satu naskah, demikian
pula dengan naskah Jawa tersebut. Dari penelitian terbukti bahwa meskipun teks
Kakawinnya sama, naskah Blai dan Jawa memiliki perbedaan dalam ejaan dan
pemilihan kata.
c. Nagarakrtagama
(Brandes) 1902
Brandes
menerbitkan Nagarakrtagama dengan huruf Bali (seperti teks aslinya)dengan
tujuan memperkenalkan naskah yang ditemukannya di Lombok (1894). Dalam
penerbitan ini tidak digunakan metode penentuan teks dasar suntingan, suntingan
Brandes ini merupakan salinan setia dari naskah. Oleh karena itu, sama sekali tidak
diusahakan untuk membetulkan kesalahan-kesalahan penyalin, meskipun kesalahan
itu terlihat secara jelas.
d. Brahmanda-Purana
(Ganda) 1932
Penerbitan
teks ini merupakan penerapan pertama metodologi filologi yang sampai kepada
stema. Dalam penentuan teks, dipakai 10 naskah dari Universiteits-Bibliotheek
Leiden. Atas dasar ejaan, ditunjukkan hubungan antara naskah tersebut, dan
kemudian diperbandingkan dengan tujuan dapat disederhanakan. Dalam menentukan
hubungan naskah, ada 3 hal yang diperhatikan, yaitu bagian yang hilang, varian,
dan bagian yang cacat.
Penelitian
di atas serta pengamatan terhadap unsure-unsur kritik teks lainnya menghasilkan
suatu stema dengan arketipnya, sehingga dapat diterbitkan dengan menggunakan
metode filologi yang sesuai dengan keadaan dan hasil perbandingan teks itu.
3. Penerapan
metode filologi pada beberapa suntingan naskah.
a. Het
Bhomakawya (Teeuw, 1946)
Het Bhomakawya diterbitkan oleh
Friderich pada tahun 1852, dan kemudian diterbitkan lagi oleh Teew, dalam
suntingan teksnya ia menggunakan metode landasan. Perbandingan kolasi dilakukan
terhadap dua naskah lengkap (naskah A dan B) dari Universiteirs-Bibliotheek
Leiden. Naskah A ditulis di Lombok pada tahun Saka 1721, dan naskah B berasal
dari tahun Saka 1756. Dua naskah tersebut sering menyimpang dari teks cetakan.
Terkadang A menurut teks cetakan, sedang B menyinpang dan sebaliknya.
Ketergantungan kedua teks ini kepada teks lain tidak dapat ditunjukkan, namun
teks ini menunjukkan kedekatan. Akan tetapi dari penyuntingan kedua teks ini
menyatakan bahwa teks B lebih dekat dengan aslinya.
b. Adat
Atjeh (Drewes dan Voorhoeve, 1958)
Pada suntingan naskah Adat Atjeh dipakai metode diplomatic
yang dibuat Faksimile dalam naskah india Office of Library dengan pengantar dan
catatan mengenai asal mula naskah tersebut, deskripsinya, dan metode
reproduksi, antara lain, ukurannya diperkecil, dan dua halaman yang berhadapan
pada teks asli di reproduksikan pada satu halaman. Untuk memperjelasnya,
terbitan ini diberikan transliterasi dengan huruf latin dalam catatan.
c. Java
in the 14th Century (Pigeud, 1960)
Java in the 14th Century
ini menggunakan metode diplomatic, disunting Nagara-Krtagama disertai
transliterasi, catatan-catatan mengenai teks dan terjemahan, komentar dan
glosari (daftar kata-kata).
d. Asrar
Al-Insan fi Ma’rifa Al-Ruh wal-Rahman (Tudjimah, 1960)
Tudjimah menggunakan metode landasan,
dan ia juga menggunakan tiga naskah yang
disebut A,B,C. naskah A dan B menunjukkan persamaan yang mencolok, sehingga
timbul dugaan bahwa A dan B berasal dari suatu sumber atau naskah A disalin
dari naskah b, atau sebaliknya. Sedangkan naskah C hanya memuat kalimat-kalimat
dalam bahasa arab. Sehingga naskah A dapat disunting dengan memperbandingkan
dengan naskah B dan C.
e. Hikayat
Banjar (Ras, 1968)
Jumlah naskah yang dipakai adalah 8
buah koleksi berasal dari Indonesia dan 12 buah berasal dari Eropa yang
sebagian besar dari koleksi Leiden, semua naskah ini adalah naaskah salinan
dari naskah yang tersimpan sdi suatu tempat di Indonesia.
Naskah Hikayat Banjar dibuat dalam dua bentuk
dengan perbedaan yang besar yang disebut Resensi I dan Resensi II. Teks yang
disunting dalam Hikayat Banjar mewakili Resensi I yang terdiri dari 9
naskah dengan mengungkapkan persamaan
bacaan varian-varian tertentu secara teratur.
Atas dasar cirri-cirinya, naskah dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I
terdiri dari 4 naskah, dan kelompok II terdiri dari 5 naskah. Pengelompokan
dalam sub kelomppok dari sudut pandang berbeda menghasilkan dua macam stema.
f. Hikayat
Andaken Penurat (Robson, 1969)
Penerapan ini menggunakan 1 naskah
dalam tulisan arab melayu yang diperkirakan berasal dari Sekretaris Jendral di
Batavia, dengan dibuat transliterasi dan terjemahan. Penerapan ini menggunakan
nomor halaman pada tepi teks dan terjemahan untuk memudahkan rujukan. Suntingan
ini juga merupakan bantuan kecil kearah proses penafsiran.
g. Wangbang
Wideya (Robson, 1971)
Naskah yang digunakan pada edisi
ini adalah naskah A,B,C,D,F, dan G. penulisan dalam naskah G dilakukan dengan
sangat ceroboh, sehingga penyalin tampak seperti tidak mengerti urutan-urutan
lembaran yang harus dibaca, hal ini menyebabkan kekacauan teks. Naskah ini
tidak digunakan untuk suntingan, karena hanya sebuah fragmen dan tidak
berkolofon.
Perbandingan naskah menghasilkan
diagram yang tidak dibenarkan sebagai stema karena tidak menunjukkan keturunan
naskah dari naskah aslinya, tetapi hanya menimbulkan pengelompokan umum dan
perbandingan yang dapat dipercaya. Contoh diagram:
X
E C D F
A B
X bukan arketip atau hiparketip,
melainkan teks yang sama.
h. Babad
Buleleng (Worsley, 1972)
Pada penerapan ini digunakan 4 naskah
yang disebut A,B,C, dan D, masing-masing dideskripsikan. Edisi ini didasarkan
atas foto-foto dari A yang dibuat editor pada tahun 1971. Karena foto-fotonya
tidak terbaca, sehingga menggunakan rujukan naskah lain. D adalah naskah yang
berbahasa Latin, yang mana naskah menyimpang dari ketiga naskah lainnya.
Pemenggalan kata dalam naskah ini tidak dapat dipercaya, meskipun pungtuasinya
menunjukkan persamaan dengan pungtuasi dalam A,B, dan C. dengan ini D tidak
dapat dipercaya sebagai saksi karena naskah D tidak leengkap.
i.
Undang-Undang Melaka
(Liaw Yock Fang, 1976)
Penerapan ini kurang lebih
menggunakan 44 naskah. Berdasarkan isinya, naskah dapat dibagi menjadi 7
kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 18 naskah, dari 18 naskah itu di
sisihkan teks fragmentaris dan teks-teks yang hanya merupakan salinan yang
lain, sehingga menjadi 313 naskah yang lengkap. Hubungan antara 13 naskah
tersebut didasarkan atas cirri-ciri khusus naskah, antara lain bagian-bagian
yang hilang, tambahan-tambahan, bacaan korup dan varian-varian yang penting.
Dari 13 naskah, diambil 5 buah
naskah yang paling baik dan yang mempunyai arti bacaan yang paling cocok dengan
konteks naskah, sedangkan naskah yang lain digunakan sebagai rujukan sehingga
menghasilkan 2 stema, A dan B.
j.
Arjunawijaya (Supomo,
1977)
Penerapan ini menggunakan 20 naskah
yang berasal dari Jawa, Bali dan Lombok. Setelah itu dipilih 10 naskah lagi
untuk keperluan aparat kritik. Seleksi ini berdasarkan otentitas naskah,
kelengkapan naskah, kondisi ejaan dan bacaannya. Perwakilan kedua naskah yang
berasal dari Jawa dan Bali menghasilkan sebuah stema.
k. Hikayat
Sri Rama (Achadiati Ikram, 1978)
Achadaiati menyajikan edisi
berdasarkan naskah Laud 291. Naskah itu dipilihnya karena umurnya paling tua
diantara 24 naskah yang umurnya kira-kira meliputi dua setengah abad.
Berdasarkan isi dan susunan cerita Achadiati menggabungkan 17 naska sri Rama
dalam beberapa kelompok yang disebut versi. Pengalaman ini tidak dimaksudkan
untuk menyusun suatu stema karenadipandang tidak cukup untuk berpijak. (h. 83)
l.
Adat Raja-Raja Melayu
(Panuti Sudjiman, 1979)
Penerapan ini menggunakan 10 naskah
yang berasal dari berbagai macam Negara, yaitu naskah dari London, Leiden,
Jakarta, Paris dan Singapura. Naskah ini dilihat yang sama berdasarkan isi maupun
penyajian. Hal ini jelas menunjukkan sesuatu yang sama dan membentuk Stema.
m. Hikayat
Indra Putra (Rujiyati Mulyadi, 1979)
Hikayat Indra Putra menggunakan 30
naskah, semuanya berbahasa arab kecuali satu naskah yang berbahasa Latin.
Diantara naskah itu, naskah B berasal dari abad 17 yang paling dekat dengan
naskah I. dan naskah F yang berasal dari abad ke 17. Naskah F yang berasal dari
abad ke 176 adalah naskah tertua, tetapi tidak dapat digunakan sebagai naskah
dasar karena urutan-urutan peristiwanya kacau, terlalu banyak halaman yang
hilang dan terlalu rusak untuk digunakan sebagai naskah dasar. oleh karena itu
pilihan dijatuhkan kepada naskah yang paling tua dan baik, yaitu MSI dari A.H.
IIII (A.D.1700) naskah ini mempunyai urutan lengkap yang ditemukan dalam
Hikayat Indra Putra.
n. Arjunawiwaha
(Kuntara Wiryamartana, 1990)
Penelitian ini menggunakan bahasa
Jawa yang melliputi transformasi lewat sastra Jawa. Kakawinan dari masa ke masa
terus menerus disalin, dibaca dan ditafsirkan dilingkungan Keraton, Adipaten,
pertapaan. Tapi dikalangan Jawa, penerapan ini terbentuklah tembang Macapat.
Kuntara memilih bentuk dasar untuk memahami perjalanan tradisi Arjunawiwaha dijawa teks Kakawin
Arjunawiwaha dari naskah lontar MP (Malayo Polynesia) 165. Naskah ini dipandang
sebagai mata rantai yang sangat penting dalam rangka perjalanan tradisi di
Jawa. Penerbitan ini dilakukan dengan 2 cara: pertama dengan terbitan
diplomatic yang kedua dengan terbitan teks dengan perbaikan bacaan.
o. Hikayat
Meukuta Alam (Imron T.Abdullah, 1991)
Imron membedakan hikayat Meuka Alam
menjadi dua, yaitu lisan dan tulisan. Karena dia menganggap bahwa karya sastra
hikayat lahir berupa lisan terdahulu kemudian berupa tulisan. Sehingga
pengelompokan ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan cerita sebagai
akibat dari penikmat, bukan sebagai stema naskah Hikayat Meuka alam. (hl.
89-90)
p. Hikayat
Iskandar Zulkarnaen (Siti Chamamah Soeratno, 1991)
Hikayat ini pertama diciptakan pada
abad ke 15 M. objek penelitiannya adalah naskah hikayat Iskandar Zulkarnaen
yang ada diperpustakaan Universitas Malaya. Teks ini adalah satu-satunya teks
yang paling utuh secara semantiknya. Mulai dari Nabi Adam hingga peristiwa
setelah wafatnya Iskandar Zulkarnaen. Teks ini disajikan kembali dalam bentuk
suntingan yang luasnya 4 kali suntingan sebelumnya oleh P.J Van Leeuween
(19937) dan Khafid Husain (1968).
Hikayat Iskandar Zulkarnaen di analisis
dari segi struktur dan fungsinya, melalui analisis terhadap tokoh-tokohnya
seperrti Khidlir, Zulkarnaen. Hikayat ini mempunyai fungsi bagi masyarakat
melayu, yaitu untuk menjunjung tunggi Iskandar Zulkarnaen sebagai raja Islam
idaman, raja yang berjiwa Islam. (h. 168-9).
No comments:
Post a Comment